Penghapusan outsourcing, bentuk menimbang arah kebijakan

Sebuah pernyataan yang disampaikan ketika merespons tuntutan para buruh dalam peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day 2025 di Lapangan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Kamis, 1 Mei 2025. Seketika itu juga, rencana penghapusan sistem outsourcing dalam dunia kerja Indonesia memantik diskusi yang hangat. Jika kebijakan ini benar-benar dijalankan, maka langkah tersebut menjadi upaya perbaikan nasib jutaan pekerja Indonesia yang selama ini terjebak dalam ketidakpastian, upah rendah dan minim perlindungan akibat sistem outsourcing.
Sebelum membahas lebih jauh terkait topik di atas, ada baiknya publik diberikan pemahaman yang jelas mengenai perbedaan antara tenaga kerja alih daya (outsourcing) dan tenaga kerja kontrak, karena keduanya memiliki karakteristik dan ketentuan hukum yang berbeda secara signifikan.
Bahwa outsourcing merupakan praktik bisnis yang melibatkan penggunaan tenaga kerja eksternal untuk melaksanakan tugas-tugas yang biasanya dilakukan oleh pekerja internal suatu perusahaan. Konsep ini diatur dalam Pasal 64-66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, di mana jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan dibatasi pada pekerjaan non-inti (non-core business). Ketentuan ini kemudian diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang selanjutnya digantikan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Dalam regulasi terbaru ini, perusahaan diperbolehkan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis.
Sederhananya, perusahaan A menyewa tenaga kerja dari perusahaan B untuk ditempatkan dikantor atau fasilitasnya. Namun secara administratif, gaji, tunjangan dan kontrak kerja pekerja tersebut tetap ditanggung oleh perusahaan B, bukan perusahaan A tempat karyawan bekerja secara fisik.
Sedangkan tenaga kerja kontrak merupakan pekerja yang direkrut langsung oleh perusahaan pengguna tenaga kerja. Mereka bekerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang menyebutkan jangka waktu kerja serta hak dan kewajiban kedua belah pihak. Hubungan kerja ini bersifat langsung tanpa perantara perusahaan ketiga. Pekerja kontrak biasanya memiliki hak yang lebih jelas dalam tunjangan, jaminan sosial, dan perlindungan ketenagakerjaan dibandingkan tenaga kerja outsourcing.
Selain itu, pegawai kontrak sering kali lebih fokus pada proyek atau masa kerja tertentu, seperti enam bulan, satu tahun atau sesuai kebutuhan perusahaan. Upah pekerja kontrak dibayar langsung oleh perusahaan pemberi kerja dan nominalnya pun disesuaikan dengan posisi, pengalaman, serta kesepakatan bersama dalam kontrak. Meskipun bersifat sementara, pekerja kontrak tetap memiliki peluang lebih besar untuk diangkat menjadi karyawan tetap.
Perlu diingat kembali bahwa pada tanggal 31 Oktober 2024, Mahkamah Konstitusi telah menjatuhkan Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023, yang pada intinya mewajibkan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia untuk menetapkan peraturan baru guna menghindari tumpang tindih norma antara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah berlaku sebelumnya. Namun, hingga saat ini, belum terdapat peraturan pelaksana yang diterbitkan untuk menindaklanjuti amanat Mahkamah Konstitusi tersebut dalam rangka membatasi jenis-jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan (outsourcing).
Oleh karena itu, pembahasan mengenai ketenagakerjaan perlu segera dilakukan melalui sebuah diskusi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk perusahaan dan pekerja, serta didukung oleh analisis teknokratis yang menyeluruh. Namun, pendekatan teknokratis tidak boleh dijadikan alasan untuk menunda atau menutupi masalah substansial yang selama ini dialami oleh pekerja. Harapannya, diskusi ini dapat menghasilkan pemahaman yang lebih mendalam dan komprehensif, khususnya terkait problematika dalam sistem outsourcing, yang tidak hanya berkaitan dengan aspek implementasi teknis, tetapi juga menyentuh pada desain regulasi yang selama ini membuka ruang bagi praktik eksploitasi terselubung.
Jika evaluasi terhadap penghapusan system outsourcing ini benar benar terjadi, secara positif akan memberikan buruh kepastian kerja, akses jaminan sosial, serta peluang pengembangan karier yang lebih jelas, meningkatkan daya beli dan loyalitas kerja, yang pada akhirnya mendorong produktivitas nasional. Secara sosial, penghapusan ini menciptakan rasa keadilan dan mengurangi kesenjangan antara pekerja tetap dan pekerja kontrak. Sementara pihak industri, akan mendapat manfaat dari tenaga kerja yang lebih stabil dan terlatih.
Tak berhenti sampai di situ, dampak negatif dari penghapusan sistem outsourcing, jika benar-benar diterapkan, berpotensi menjadi bumerang. Perusahaan kemungkinan akan lebih berhati-hati dalam merekrut tenaga kerja karena kekhawatiran terhadap beban jangka panjang yang lebih besar. Hal ini dapat berujung pada risiko terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal jika kebijakan tersebut tidak dirancang secara matang. Oleh karena itu, penghapusan sistem outsourcing justru dapat menimbulkan masalah baru dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia dan menciptakan ketidakpastian. Padahal, sistem ini telah menyerap banyak tenaga kerja dan menjadi salah satu strategi pemerintah dalam menghadapi pelemahan ekonomi global melalui deregulasi. Pemerintah jangan sampai justru melakukan regulasi yang kontraproduktif. Sebaliknya, perhatian terhadap keluhan buruh terkait praktik outsourcing yang tidak sesuai harus dijadikan fokus utama.
Dengan demikian, agar kebijakan ini berjalan efektif, Pemerintah perlu hadir sebagai penyeimbang dengan memberikan insentif, pendampingan hukum, serta melakukan reformasi dalam sistem pengupahan. Seperti diketahui, semua kebijakan ketenagakerjaan harus sejalan dengan norma konstitusi yang menjamin hak setiap orang untuk bekerja serta memperoleh imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Landasan konstitusional hak pekerja di Indonesia tertuang dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, sementara itu, Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 secara spesifik mengatur hak atas imbalan dan perlakuan adil dalam hubungan kerja.